BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pelestarian lingkungan hidup pada
penghujung abad ini semakin menarik perhatian, bukan hanya di indonesia tetapi
juga di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh karena kelestarian lingkungan
hidup saat ini telah di pandang sebagai suatu kewajiban masyarakat dunia.
Selain itu, kelestarian lingkungan hidup meruapakan kepentingan masyarakat
dunia pula. Kerusakan lingkungan yag terjadi di suatu tempat di wilayah suatu
negara, selain merugikan negara yang bersangkutan, juga berdampak sangat
negatif bagi negara-negara lain. Hal ini mengakibatkan kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah harus memperhatikan lingkungan hidup.
Pembangunan disamping dapat membawa
kepada kehidupan yang lebih baik juga mengandung resiko karena dapat
menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Untuk meminimalkan
pencemaran dan kerusakan tersebut perlu diupayakan adanya keseimbangan antara pembangunan dengan
kelestarian lingkungan hidup. Peningkatan kegiatan ekonomi melalui industrialisasi
tidak boleh merusak sektor lain, misalnya pembangunan pembangkit listrik tidak
boleh merusak lahan pertanian. Konsep keselarasan antara kelestarian lingkungan
hidup sering disebut pembangunan yang berwawasan lingkungan dan akhir-akhir ini
lebih dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (suistanable development) .
Secara umum pembangunan berkelanjutan mempunyai ciri-ciri tidak merusak
lingkungan yang dihuni manusia, dilaksanakan dengan kebijakan yang terpadu dan
menyeluruh dan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang.
Pemerintah indonesia sudah mulai
memperhatikan pengelolaan lingkungan hidup sejak tahun 1972. Pada tahun
tersebut pemerintah indonesia menyongsong konferensi Lingkungan Hidup Sedunia 1
yang diselenggarakan di Stockholm, Swedia pada bulan juni 1972, akan tetapi
pada saat itu pemerintah indonesia belum mengenal lembaga khusus yang menangani
masalah lingkungan hidup.
Konferensi Stockholm mulai berupaya
melibatakan pemerintah seluruh dunia dalam proses penilaian dan perencanaan
lingkungan hidup, mempersatukan pendapat dan kepedulian negara maju dan
berkembang untuk menyelamatkan bumi, menggalakkan partisipasi masyarakat serta
mengembangkan pembangunan dengan memperhatikan lingkungan. Sehubungan dengan
hal tersebut, konferensi Stockholm mengkaji ulang pola pembangunan konvensional
yang selama ini cenderung merusak bumi yang berkaitan erat dengan masalah
kemiskinan, tingkat pertumbuhan ekonomi, tekanan kependudukan di negara
berkembang, pola konsumsi yang berlebihan di negara maju, serta ketimpangan
tata perekonomian internasional. Perubahan peraturan perundang-undangan akan
mempengaruhi bentuk kelembagaan lingkungan hidup. Perubahan tersebut ditujukan
untuk menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya.
Kelembagaan yang diharapkan dapat lebih efektif dan efesien. Hal ini
disebabkan, karena kelembagaan dapat dilihat dari instansi pemerintah, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan,
serta program–program yang dijalankan pemerintah dalam rangka menjaga
kelestarian lingkungan hidup dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Namun
demikian, masih banyak masalah lingkungan hidup yang masih belum terselesaikan
hingga saat ini. Perusakan tersebut pada giliraannya memustahilkan penikmatan
atau pemenuhan HAM, yang tidak hanya terbatas pada hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya, tetapi juga mencakup hak-hal sipil dan politik.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang
dimaksud dengan legal standing ?
2.
Siapa yang
berhak melakukan legal standing ?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah
diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dari makalah ini adalah memperoleh data
dan informasi yang tepat untuk menganalisis data. Secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk :
1.
Mengetahui apa yang
dimaksud dengan legal standing.
2.
Mengetahui
siapa yang berhak melakukan legal standing.
D. Manfaat
Penulisan
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa :
1.
Bagi mahasiswa, untuk
memberikan saran dan masukan yang bermanfaat mengenai legal standing
sehingga dapat mengurangi terjadinya perusakan lingkungan.
2.
Bagi penulis, menambah ilmu dan pengetahuan serta
informasi yang digunakan dalam penulisan makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
Lingkungan hidup adalah semua benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam
suatu tempat atau ruang tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi
hidupnya. Istilah lingkungan hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan environment, dalam bahasa Belanda disebut dengan
millieu atau dalam bahasa Perancis disebut dengan l’environment. Dalam kamus
lingkungan hidup yang disusun Michael Allaby, lingkungan hidup itu diartikan
sebagai: the physical, chemical and biotic condition surrounding and organism.
S.J. McNaughton dan Larry L. Wolf mengartikannya dengan semua faktor
eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan,
pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme. Prof. Dr. Ir. Otto
Soemarwoto, seorang ahli ilmu lingkungan (ekologi) terkemuka mendefinisikannya
sebagai berikut: Lingkungan adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada
dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Prof. Dr St.
Munadjat Danusaputro, SH, ahli hukum lingkungan terkemuka dan Guru Besar Hukum
Lingkungan Universitas Padjadjaran mengartikan lingkungan hidup sebagai semua
benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang
terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta
kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.
B. Pengertian Legal
Standing
Pada
prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses
orang perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak
penggugat. Legal standing, Standing tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat
diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil
di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil
Proceding) disederhanakan sebagai “hak gugat”. Secara konvensional hak
gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (poit
d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang
dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan
(propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang
dialami secara langsung (injury in fact).
Perkembangan
hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan
perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest
law) di mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak
sebagai penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung,
tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan,
masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup,
perlindungan konsumen, hak-hak Civil dan Politik.
Pendapat di
atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Paulus Effendi Lotulung,
yang menyatakan dalam bidang lingkungan hidup dapat terjadi suatu keadaan
dimana suatu organisasi atau kelompok orang mengajukan gugatan dengan
mendasarkan kepada kepentingan yang tidak bersifat diri pribadi mereka atau kelompok
mereka, tetapi mengatas namakan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak
(masyarakat) atau yang disebut sebagai “algemeen belang”. Pendapat yang
memberikan hak gugat kepada suatu organisasi/lembaga swadaya masyarakat (legal
standing) berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Prof. Christoper
Stone, yang memberikan hak hukum kepada objek-objek alam (natural object)
seperti hutan, laut, sungai, gunung sebagai objek alam yang layak memiliki hak
hukum dan adalah tidak bijaksana jika dianggap sebaliknya dikarenakan sifatnya
yang inanimatif (tidak dapat berbicara) tidak diberi suatu hak hukum.
Selanjutnya Stone berpendapat, organisasi lingkungan yang memiliki data dan
alasan untuk menduga bahwa suatu proyek/kegiatan bakal merusak lingkungan,
kelompok tersebut dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar mereka
ditunjuk sebagai wali (guardian) dari objek alam tersebut untuk
melakukan pengawasan maupun pengurusan terhadap objek alam terhadap indikasi
pelanggaran atas hak hukum.
Gugatan legal standing merupakan
gugatan dimana penggugat tidak tampil di pengadilan sebagai penderita, tetapi
sebagai organisasi mewakili kepentingan publik yaitu mengupayakan perlindungan
daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup.
C. Dasar Hukum
Legal Standing
Organisasi
Lingkugan Hidup berhak mngajukan gugatan utk kepentingan pelestarian fungsi
Lingkungan Hidup. Hal ini terlihat pada Pasal 92 UUPPLH yaitu :
1)
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan
gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2)
Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk
melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya
atau pengeluaran riil.
3)
Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan
apabila memenuhi persyaratan:
i. berbentuk
badan hukum.
ii. menegaskan
di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
iii. telah
melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2
(dua) tahun.
Urgensi yang mendasari adanya legal standing organisasi lingkungan hidup
dapat dibagi menjadi 2 faktor : Faktor Kepentingan Masyarakat Luas dan Faktor
Penguasaan SDA oleh Negara. Dalam prakteknya sendiri pada proses legal standing
memiliki kendala dalam sector Pembuktian, Perangkat pemulihan (remedial tools),
Kesiapan lembaga peradilan. Padahal nilai plus dari mekanisme legal standing
dapat di uraikan sebagai berikut Proses berperkara yang cukup ekonomis
(judicial economy), Mencegah pengulangan (repetition) gugatan serupa secara
individual Akses keadilan (access to justice) lebih terjamin karena diajukan
atas nama class dan Perubahan sikap pelaku pelanggaran (behaviour modification)
detterent effect.
D. Hak legal
standing di Pengadilan Tata Usaha Negara
Setelah
berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara perkembangannya sangat menggembirakan,
hal ini dapat dilihat dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam
kasus yang terkenal sebagai kasus Dana Raboisasi, yang diajukan WALHI, dkk.,
sebagai Penggugat v. Presiden RI dalam kapasitas pejabat negara, terhadap
pembatalan Surat Keputusan Presiden No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman
Kepada Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara
(PT. IPTN). Dikatakan sangat menggembirakan karena secara tidak disadari telah
memperluas arti kepentingan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sebab
dalam perkara tersebut pengadilan telah menerima organisasi kemasyarakatan
sebagai penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara yang walaupun sebahagian dari
penggugat dinyatakan tidak berkualitas sebagai penggugat yang akhirnya
dikeluarkan sebagai penggugat.
Kepentingan
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 merupakan kepentingan
perseorangan/individual yang langsung mengalami/ menderita kerugian atas
diterbitkannya objek sengketa/surat keputusan tata usaha negara, dalam
kapasitas gugatan organisasi, sudah barang tentu kepentingan yang dirugikan itu
tidak langsung dialami oleh organisasi itu.
Adapun dasar
pertimbangan pengadilan menerima dan menetapkan hak standing LSM dalam kasus
ini adalah:
1.
Bahwa tujuan organisasi tersebut adalah benar-benar
melindungi lingkungan hidup atas menjaga kelestarian alam, dimana tujuan
tersebut harus tercantum dan dapat dilihat dalam anggaran dasar organisasi yang
bersangkutan.
2.
Bahwa organisasi yang bersangkutan haruslah berbentuk
badan hukum ataupun yayasan.
3.
Bahwa organisasi tersebut harus secara
berkesinambungan menunjukkan adanya kepedulian terhadap perlindungan lingkungan
hidup yang nyata di masyarakat.
Putusan pengadilan terdahulu diikuti lagi dalam perkembangan hukum berikutnya
yang menerima organisasi sebagai pihak penggugat di Pengadilan Tata Usaha
Negara, misalnya dalam perkara 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, antara Yayasan Lembaga
Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia/Indonesian Centre for Environment
Law (ICEL), dkk., v. Menteri Pertanian RI, dkk., yang mempermasalahkan
surat keputusan yang diterbitkan oleh Tergugat No.107/Kpts/KB.430/2/2001 tgl. 7
Pebruari 2001 tentang Pelepasan secara terbatas 35B (BOLLGARD) sebagaimana
diusulkan PT. Monagro Kimia. Menurut penggugat pemberian surat izin tersebut
harus memakai AMDAL.
Agar ada suatu kesamaan bentuk maupun tahapan-tahapan yang akan dilalui
dalam pengajuan dan penyelesaian gugatan perwakilan (class actions),
sebaiknya diatur dalam suatu peraturan hukum acara sebagai payung beracara
menurut prosedur gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugatan
organisasi (legal standing).
E. Ciri-Ciri Organisasi
yang Berhak Melakukan Legal Standing
Berdasarkan undang-undang no. 23 tahun 1977 tentang pengelolaan
lingkungan hidup ( UUPLH ) juga mengatur mekanisme pengajuan tuntutan hak oleh
organisasi lingkungan hidup (OLH) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM),
sebagaimana diatur dalam pasal 38 ayat (1) UUPLH yang menentukan “ dalam rangka
pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola
kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”.
Hak pengajuan gugatan tersebut terbatas pada tuntutan untuk hak
melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biayaatau
pengeluaran riil.
Organisasi
lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan tersebut (gugatan legal standing)
apabila memenuhi persyaratan :
1.
Organisasi lingkungan tersebut harus berbadan hukum
atau yayasan.
2.
Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
3.
Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan tuntutan hak oleh organisasi
lingkungan hidup atau lembaga swadaya masyarakat dapat dilakaukan. Namun
demikian, tuntutannya tidak dapat beruap permintaan ganti kerugian. Tuntutan
hak yang diperbolehkan hanya berupa kewajiban untuk melakukan tindakan
tertentu, seperti reboisasi, memulihkan kondisi lingkungan seperti sediakala
sebelum pencemaran lingkungan dilakukan dan sebagainya.
E. Proses
Pemeriksaan Gugatan Oleh Organisasi (legal standing)
Proses pemeriksaannya masih mengacu pada proses beracaranya perkara perdata
yanag bersumber pada HIR (Reglement Buite Gewesten), serta RV (Reglement op de
Burgelijke Recht Voldering).
Isi surat gugatan dalam sengketa lingkungan
tidak diatur dalam UUPLH. Oleh karena itu masih mengacu pada
perundang-undangan sebelumnya, yaitu HIR, Rbg, maupun RV. Berkaitan dengan
formulasi surat gugatan, HIR dan Rbg hanya mengatur tentang cara bagaimana mengajukan
gugatan. Persyaratan mengenai gugatan terdapat dalam pasal 8 no. 3 RV. Pada
dasarnya surat gugatan berisi :
1.
Identitas para pihak, berisi mengenai nama lengkap,
umur/ tempat tanggal lahir, pekerjaan dan alamat/domisli.
2.
Posita/fundaminta petendi yang merupakan dalil-dalil
tentang adanya hubungan hukum yang yang merupakan dasar serta alasan-alasan
dari tuntutan (middelen van de is).
3.
Petitum yang merupakan bagian dari surat gugatan yang
berisi hal-hal yang dimohonkan yang diputuskan oleh hakim.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya maka akan disajikan beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1.
Legal standing
merupakan gugatan dimana penggugat tidak tampil di pengadilan sebagai
penderita, tetapi sebagai organisasi mewakili kepentingan publik yaitu
mengupayakan perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup.
2.
Organisasi yang berhak melakukan legal standing harus
berbadan hukum atau yayasan, dan harus sesuai dengan anggaran dasarnya.
B. Saran
Adapun
saran-saran yang dapat diberikan sehubungan dengan hasil makalah ini alangkah
baiknya meminimalkan pencemaran dan kerusakan lingkungan perlu diupayakan
adanya keseimbangan antara pembangunan
dengan kelestarian lingkungan hidup. Dan disarankan agar suatu organisasi
atau kelompok orang ikut mengawasi kepentingan lingkungan yang tidak bersifat
diri pribadi mereka atau kelompok mereka, tetapi mengatas namakan kepentingan
umum atau kepentingan orang banyak (masyarakat) atau yang disebut sebagai “algemeen
belang”.