BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah salah
satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Namun, di sisi lain
Indonesia adalah salah satu negara demokrasi yang mengadopsi sistem kapitalisme
dan sekulerisme dalam pelaksanaan roda pemerintahan. Hal ini berdampak pada
pemisahan konsep syariah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga
agama hanya dianggap sebagai salah satu nilai kultural yang diwariskan secara
turun temurun. Adanya pemisahan konsep syariah dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara menyebabkan adanya pandangan bahwa kehidupan materialisme pada
sebagian orang menjadi tujuan utama. Oleh karena itu, muncul berbagai
pelanggaran norma sebagai dampak dari keinginan yang berlebihan untuk saling
berlomba dalam mencapai tujuan materialistik.
Salah satu bentuk
pelanggaran norma dalam masyarakat yang marak saat ini adalah korupsi. Dan indonesia
adalah salah satu negara dengan kasus korupsi tertinggi di dunia. Korupsi telah
masuk ke dalam berbagai elemen masyarakat, baik pejabat publik, lembaga
legislatif dan bahkan lembaga agama dan peradilan sekalipun. Korupsi agaknya
telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan
telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun
cenderung semakin meningkat.
Korupsi di alam
demokrasi saat ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah (eksekutif),
parlemen/wakil rakyat (legislatif), peradilan (yudikatif), dan juga swasta.
Mantan Ketua MK (mahkamah konstitusi) Mahfud MD pernah menyebutkan pusat-pusat
korupsi di Indonesia terdapat di empat sektor lembaga pemerintah, yaitu: pajak,
bea cukai, pertamina dan pertanahan ( Laporan Transparency international-Indonesia/ TII).
Berdasarkan fakta-fakta
yang ada bahwa hukum yang berlaku dalam pemerintahan demokrasi tidak memiliki
kekuatan untuk memberantas korupsi sehingga perlu adanya solusi alternatif yang
lebih progresif dan representatif serta tepat sasaran untuk memberantas
kejahatan publik ini. Saatnya al-Quran tidak lagi diletakkan sebagai kesadaran
normatif yang hanya bergerak pada wilayah cultural, namun harus mampu
menyelinap dalam perbaikan pada ruang-ruang structural, dimana al-Quran
sesungguhnya bisa menjadi landasan teoritik yang bisa dipakai untuk melakukan
pembebasan kemanusiaan, bahkan untuk masalah seperti korupsi ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
-
Bagaimana perspektif Al-quran mengenai korupsi ?
- Apa penyebab maraknya praktek korupsi serta dampaknya terhadap kemajuan
suatu Negara?
- Apakah sistem sanksi yang dilakukan saat ini telah berhasil memberantas
korupsi di Indonesia?
C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui perspektif Al-quran tentang korupsi.
- Untuk mengetahui faktor penyebab korupsi dan dampaknya terhadap kemajuan
suatu Negara
- Untuk menggambarkan sistem sanksi yang dilakukan saat ini apakah telah
berhasil memberantas korupsi.
D. Manfaat penulisan
Manfaat yang diharapkan
dari penulisan makalah ini adalah:
- Penulisan ini diharapkan memberi konstribusi ilmiah bagi khasanah keilmuan
dalam upaya memberantas korupsi.
- Sebagai bahan masukan yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumbangsih
pemikiran dalam membuat sistem sanksi dalam pemberantasan korupsi.
- Sebagai referensi untuk penulisan berikutnya dan keperluan lain yang
terkait.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Korupsi dalam
Perspektif Islam
Islam adalah agama
sempurna yang memiliki perspektif yang jelas untuk semua aspek hukum dalam
kehidupan manusia, termasuk persoalan korupsi. Tindak pidana korupsi sejatinya
adalah salah satu tindak pidana yang cukup tua usianya. Hal ini dapat
ditelusuri melalui sejarah klasik Islam yaitu pada masa Rasulullah sebelum
turunnya surat Ali Imran ayat 161. Saat itu, kaum muslimin kehilangan sehelai
kain wol berwarna merah pasca perang. Kain wol yang sebagai harta rampasan
perang itu pun diduga telah diambil sendiri oleh Rasulullah Saw. Untuk
menghindari keresahan kalangan muslim saat itu, Allah pun menurunkan surat Ali
Imran ayat 161, “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta
rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu,
maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu,
kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan
dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali ‘Imran
(3) : 161)
Tindak pidana korupsi
sangat identik dengan penyalahgunaan jabatan yang didefinisikan sebagai
perbuatan khianat dalam perspektif Islam. Karena jabatan yang telah disandang
oleh seseorang adalah sebuah kepercayaan dari rakyat yang telah terlanjur
menaruh harapan padanya. Atau jabatan yang langsung dibebankan atas nama negara
yang tentunya bertujuan untuk menjalankan berbagai program yang bermuara kepada
kesejahteraan rakyat. Terlebih lagi jika amanat itu menyentuh pada ranah hukum
seperti pegawai pada bidang kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lain-lain yang
berbasis kepada keadilan yang diinginkan oleh semua pihak. Amanat yang telah
diemban itulah yang tentunya wajib untuk dilaksanakan sebaik-baiknya. Allah swt
berfirman dalam beberapa ayat mengenai kewajiban menjalankan amanat, yaitu “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal (8) : 27).
Amanat tentunya adalah sebuah kepercayaan yang wajib untuk dipelihara dan
disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Allah swt berfirman “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.” (QS. an-Nisa (4) : 58).
Ayat-ayat tersebut
menunjukkan adanya kewajiban menyampaikan amanat dan memelihara amanat yang
telah dibebankan kepada orang yang dipercayanya sehingga apabila kewajiban yang tidak
ditunaikan, tentunya terdapat keharaman dan hukuman yang mengiringinya. Hal
inilah yang menjadi landasan keharaman dari perbuatan korupsi yang semakin
merajalela saat ini.
B. Istilah Korupsi dalam Islam
Islam mengistilahkan
korupsi dalam beberapa etimologi sesuai jenis atau bentuk korupsi yang
dilakukan, istilah tersebut diantaranya adalah
1. Risywah
menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menghantarkan tujuan dengan segala
cara agar tujuan tersebut dapat tercapai. Dr. Yusuf Qaradhawi mendefinisikan
risywah yaitu sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan
atau jabatan (apa saja) untuk menyukseskan perkaranya dengan mengalahkan
lawan-lawannya sesuai dengan apa-apa yang diinginkan atau untuk memberikan
peluang kepadanya (seperti tender) atau menyingkirkan lawan-lawannya. Dari
definisi yang diungkapkan di atas, bahwa risywah adalah bagian dari tindak
pidana korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap kepada seseorang yang
memiliki kekuasaan atau wewenang agar tujuannya dapat tercapai atau memudahkan
kepada tujuan dari orang yang menyuapnya tersebut
2. al-ghulul
yaitu perbuatan menggelapkan kas negara atau baitul mal atau dalam
literatur sejarah Islam menyebutnya dengan mencuri harta rampasan perang atau
menyembunyikan sebagiannya untuk dimiliki sebelum menyampaikannya ke tempat
pembagian. Oleh karena itu, perbuatan yang termasuk kepada kategori al-ghulul
ialah mencuri ghanimah (harta rampasan perang), menggelapkan kas negara dan
menggelapkan zakat.
3. al-maksu
adalah perbuatan memungut cukai yakni mengambil apa yang bukan haknya dan
memberikan kepada yang bukan haknya pula. Perbuatan ini diidentikan kepada
pungutan liar yang biasanya terjadi ketika seseorang akan mengurus sesuatu yang
kemudian dibebankan sejumlah bayaran oleh pelaku pemungut cukai dengan tanpa
kerelaan dari orang yang dipungutnya tersebut. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa apabila pungutan tersebut tidak dipenuhi oleh korbannya, maka
urusan orang tersebut akan dipersulit oleh pelaku pemungut cukai. Inilah yang
kemudian disebut dengan al- maksu.
C. Penyebab Maraknya
Praktek Korupsi Serta Dampaknya pada Kemajuan Suatu Bangsa
Korupsi adalah bentuk
penyakit masyarakat yang merupakan produk dari lemahnya sistem pemerintahan
saat ini. Korupsi tidak muncul secara spontan, tetapi lebih banyak diakibatkan
oleh sistem yang salah dalam perekrutan atau pemilihan figur pimpinan atau pengemban
amanah untuk jabatan tertentu. Diantara
faktor-faktor yang menyebabkan maraknya praktek korupsi adalah karena lemahya
iman dan penghayatan para pejabat Negara terhadap ajaran-ajaran agama, serta
ketidak mengertian mereka tentang hukum korupsi ( Rasyid, 2003: 317).
Faktor lain yang
menyebabkan terjadinya korupsi diantaranya faktor politik, dan ekonomi.
Kekuasaan politik merupakan aspek paling dominan bagi tumbuh suburnya perbuatan
korupsi. Negara bisa berubah dari institusi yang melayani masyarakat menjadi
institusi yang dilayani. kekuasaan bisa menjadi sumber kolusi, korupsi,
nepotisme yang menguntungkan orang-orang yang memiliki kedekatan atau sengaja
mendekat dengan kekuasaan. Dari aspek ekonomi, ketika kebutuhan semakin tinggi,
sementara uang yang dimiliki tidak mencukupi kebutuhan tersebut, korupsi akan
semakin mudah tumbuh dan berkembang. Bukan hal yang mengagetkan jika ternyata
korupsi bukan hanya dilakukan oleh para pejabat pemerintahan atau para
pengusaha, namun juga dilakukan oleh tukang parkir sepeda motor, jasa
retriribusi, dan lain sebagainya. Selain itu lemahnya penerapan hukum terhadap kasus korupsi membuat
kasus-kasus korupsi berkembang seperti jamur dimusim hujan. Pemberian hukuman
yang ringan bagi koruptor atau bahkan pembebasan mereka justru membuat pejabat
semakin berani melakukan kejahatan ini.
Berdasarkan kajian dan pengalaman yang ada, setidaknya
ada 8 penyebab terjadinya korupsi di Indonesia yaitu, sistem penyelenggaraan
Negara yang keliru, kompensasi PNS yang rendah, pejabat yang serakah, law
enforence tidak berjalan, hukuman yang ringan terhadap koruptor, pengawasan
yang tidak efektif, tidak ada keteladanan pemimpin, dan budaya masyarakat yang
kondusif KKN. Praktek korupsi terjadi karena adanya motif pelaku. Beberapa
motif di bawah ini biasanya mendasari para pelakunya, antara lain : keinginan
untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya ( materialisme, keinginan untuk
memenuhi seluruh kebutuhanyya, takut terhadap kemiskinan, dan ingin cepat kaya
dalam waktu cepat.
D. Menyorot Lemahnya Sistem Sanksi Terhadap Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
Sanksi tindak pidana
korupsi tercantum dalam pasal 28 UU No. 3 tahun 1971: “Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud pasal 1 ayat
1 dan ayat 2 UU ini dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara
selama-lamanya 20 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya tiga puluh juta
rupiah. Namun di balik undang-undang ini, terdapat kelemahan-kelemahan
yaitu sulitnya menjerat tersangka pelaku tindak pidana korupsi karena gagalnya
jaksa memberikan alat bukti yang meyakinkan hakim, sering mengundang pendapat
agar sistem pembuktian dalam perkara korupsi menggunakan system pembuktian
terbalik. Sering terjadi menurut opini umum, tersangka benar-benar melakukan
perbuatan korupsi yang didakwakan karena melihat keadaan perekonomiannya yang jauh diatas penghasilan
resminya. Namun, hal ini dapat menjadi sangat lemah mengingat tali temali
korupsi sering begitu ruwet disamping pintarnya terdakwa menghilangkan jejak
sehingga jaksa tidak berhasil meyakinkan hakim akan tuduhannya.
Berdasarkan fakta “
putusan pengadilan negeri/ putusan pengadilan tinggi” dapat diketahui bahwa
terdakwa dibebaskan antaralain disebabkan: surat dakwaan yang salah, tidak
terbukti, penafsiran penuntut umum yang berbeda dengan penafsiran pengadilan
negeri / tinggi mengenai suatu unsur. Harus diakui bahwa pengungkapan tindak
pidana korupsi memang ruwet maka penanganannya memerlukan konsentrasi dan
kecermatan disamping pemahaman yang benar-benar terhadap UU No. 3 tahun 1971
tentang dakwaan.
Kasus tersebut diatas hanya sebagian kecil membuktikan
bahwa sistem sanksi dalam konsep memang baik tapi dari pelaksanaannya sangat
jauh dari harapan. Korupsi makin merajalela karena undang-undang dan lembaga
hukum telah gagal melaksanakan tugasnya. Termasuk di dalamnyalemahnya sistem
peradilan, karena tidak ada kemauan untuk memperkuat sistem itu. Bila kita
bicara undang-undang anti korupsi, kita tidak hanyabicara soal hukum pidana dan
hukum pembuktian. Ada banyakundang-undang lain yang berkaitan erat dengan
undang-undang anti korupsi. Berbeda dengan tindakan pidana lainya, tindak
pidana korupsibiasanya tidak memiliki korban yang jelas-jelas melapor. Karena
itu bukti-bukti tindak pidana korupsi sangat sulit diperoleh. Walau demikian
bukti-bukti dapat dicari dengan melakukan uji integritas yang dilakukan oleh
petugas khusus. Kemudian pihak-pihak yang diduga telah mclakukan korupsi
didorong untuk memberikan bukti. Sebelum hukum pidana barn diaktifkan sebaiknya
dipastikan
bahwa hukum itu mudah dimengerti dan tidak menimbulkan perdebatan teknis
antar pengacara yang dapat mengagalkan maksud pembuatan undang-undang.
Undang-undang itu tidak mengharuskan penuntut umum membuktikan suatu fakta yang
dalam kenyataan tidak diperlukan. ( Jeremy popy, 2008: 57-58).
Lemahnya sistem sanksi
terhadap koruptor juga dipengaruhi oleh praktek korupsi banyak dilakukan oleh
para politisi, juga para pejabat Negara untuk mendapatkan dana guna membiayai
proses-proses politik mereka dalam meraih jabatan politik. Memang masih ada
pejabat public yang dalam meraih jabatannya tidak banyak mengeluarkan dana,
tapi itu hanya satu dua saja. Kebanyakan harus dengan dana besar. Bila itu
dilakukan oleh para pemimpin, bagaimana praktik korupsi ini bisa diberantas?
Ada kcmungkinan sebagian besar orang yang berusaha
memberantaskorupsi sudah patah semangat, tidak percaya pada praktek demokrasi
dan kembali mendambakan pemerintahan yang otoriter. Di pihak lain semangat
internasional mungkin juga sudah mulai luntur, karena kasus korupsi adalah
masalah yang sangat kompleks dan membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya.
Sebagai upaya dalam memberantas korupsi hingga ke
akarnya di Indonesia, maka integrasi sistem syariah Islam merupakan salah satu
solusi yang bisa di adopsi.
E. Integrasi Sistem Fiqih
Anti Korupsi Sebagai Solusi Alternatif
Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Korupsi merupakan
penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi bangsa dan merusak tatanan hidup
bernegara. Korupsi adalah perbuatan untuk mencari keuntungan pribadi atau
golongan dengan merugikan keuangan Negara. Di dalam kaidah ushul fiqih
disebutkan bahwa tiada suatu peristiwa pun di dalam islam, melainkan disitu ada
hukum Allah. Oleh karena itu bentuk-bentuk korupsi apabila ditinjau dari sisi
syariat islam dapat diklasifikasikan dengan nama sebagai berikut: suap menyuap
(ar-risywah), pungutan-pungutan liar secara paksa ( al-ghasbu), penipuan
(al-ghurur), penyelewengan ( al-khiyanah), dan penggelapan uang Negara (
al-ghulul) ( Abdur rafi’, 2006: 1-2).
Dengan mengetahui
nama-nama yang telah termaktub dalam sistematika syariat islam tersebut, maka
akan berguna sebagai acuan seorang muslim agar menjauhi sagala bentuk praktik
korupsi yang kotor dan keji. Banyak kaum muslimin yang menganggap dosa korupsi
ini sebagai dosa kecil, buktinya korupsi dinegara kita menduduki peringkat
sepuluh besar di dunia menurut Transparancy
International Indonesia, padahal mayoritas penduduk Indonesia beragama
islam dan ternyata koruptor-koruptornya juga umumnya beragama islam.
Harapan bebas dari
korupsi hanya bisa terjadi jika pemberantasan korupsi dilakukan menggunakan
sistem lain, sebab sistem yang ada justru menjadi faktor muncul dan langgengnya
korupsi. Sistem yang bisa diharapkan itu tidak lain adalah syariah islam. Hal
itu mengingat : pertama dasar akidah islam melahirkan kesadaran senantiasa
diawasi oleh Allah, kedua sistem politik islam termasuk dalam hal pemilihan
pejabat dan kepala daerah tidak mahal,
ketiga, politisi, dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak
tergantung oleh parpol, keempat struktur dalam sistem islam semuanya berada
dalam satu kepemimpinan khalifah, kelima, praktek korupsi andai terjadi bisa
diberantas dengan sistem hukum syariah, bahkan dicegah agar tak terjadi, sebab
Allah SWT telah menjelaskan didalam QS. Ali-Imran : 161. “ Barang siapa yang berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan datang
membawa hasil kecurangannya. “. Nabi SAW bersabda: siapa dari kalian kami
pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu ia menyembunyikannya sebatang jarum atau lebih
maka itu adalah ghulul yang ia bawa pada hari kiamat ( HR. Muslim dan Abu
Dawud) ( Al-islam edisi 626, 2012 : 3).
Penerapan sistem
syariah telah dibuktikan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab ra
dan disetujui para sahabat sehingga menjadi ijmak sahabat. Harta pejabat dan
pegawai dicatat. Jika ada kelebihan yang tak wajar, maka yang bersangkutan
wajib membuktikan hartanya diperoleh secara legal. Jumlah yang tidak bisa
dibuktikan, bisa disita seluruhnya atau sebagian dan dimasukkan ke kas baitul
mal. Islam memandang bahwa kepribadian (syakshyiah) para pejabat Negara yang
melayani kepentingan masyarakat,
mengelola keuangan Negara, menjaga harta kekayaan milik kaum muslimin dan menjalankan sistem hukum islam
ditengah-tengah masyarakat harus qualified.
Orang yang benar-benar muslim tidak akan melakukan korupsi sebab ia amat paham
bahwa Allah senantiasa mengawasi dirinya dan menuntut pertanggung jawaban atas
tindakan yang dilakukannya. Jadi jika seorang pejabat tidak lagi mempunyai
sifat takwa, tidak takut terhadap pengawasan Allah SWT, maka dapat dipastikan
ia memiliki sifat zalim dan menindas rakyat.
Berdasarkan fakta
historis, maka untuk memberantas korupsi
diperlukan seorang pemimpin yang amanah dan tegas. Seorang pemimpin yang
harus menjadi figur pejabat paling bersih di negeri ini, dimana jika dia bebas
dari korupsi maka pasti akan bisa bersikap tegas terhadap bawahan dan pemimpin
lain untuk tidak melakukan korupsi. Ismail menjelaskan, harus ada dua dua
pembenahan sekaligus bagi negeri ini jika ingin lepas dari korupsi,yaki
pemilihan pemimpin yang amanah dan penerapan system yang baik. Rakyat butuh
keteladanan seorang pemimpin. Namun, pemimpin yang baik pun tidak akan bisa
terbebas dari korupsi jika sistemnya memang memicu dan memacu korupsi. Oleh
karena itu, harus ada ada perubahan system. Sistem yang baik adalah sistem yang
datang dari Yang Maha baik, Allah SWT, yakni sistem syariah islam. Sistem ini
dibangun berdasarkan keimanan, dimana suasana iman melekat dalam setiap orang
sehingga ini menjadi kontrol yang melekat untuk tidak mengkhianati amanat
rakyat. Sistem ini memiliki perangkat hukum yang tegas bagaimana menghukum para
koruptor dan menciptakan suasana keimanan ditengah-tengah aparat Negara
sehingga mereka takut berbuat maksiat. ( media umat edisi 91, 2012: 7 dan 4).
Maka Allah bertanya: Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang
lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (
Q.S Al-maidah : 50). Oleh karena itu membangun fiqih antikorupsi merupakan
salah satu implementasi solusi sistem syariah islam yang
dapat diterapkan di Indonesia saat ini.
F. Rekomendasi dan
rekonstruksi membangun fiqih antikorupsi
sebagai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Berbagai upaya untuk
memberantas korupsi telah dilakukan oleh beberapa organisasi Islam di Indonesia
seperti Nahdatul ulama dan Muhammadiyah dengan mengadakan diskusi dan
menerbitkan buku-buku yang berisi tentang tawaran untuk pemberantasan korupsi
di Indonesia. Fiqih antikorupsi menjadi salah satu gagasan yang penting
dikemukakan sebagai bagian dari cara ulama islam memandang korupsi. Meskipun
islam tidak mengenal istilah korupsi, namun korupsi memiliki sejumlah persamaan
dengan jenis-jenis kejahatan yan dikenal dalam islam. Istilah-istilah seperti
ghulul, risywah, dan lain sebagainya sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
merupakan beberapa istilah untuk menyebut kejahatan yang ada kesamaannya dengan
korupsi ( Baidowi, 2009: 11).
Dengan melihat adanya
kemiripan unsur antara “ghulul”, “risywah”, dan lain-lain dengan korupsi ini
kiranya bisa menjadi contoh mengenai pemberian sanksi pada pelaku korupsi.
Sanksi-sanksi ini khususnya untuk hukuman di dunia yang bisa dijatuhkan kepada
pelaku korupsi mulai yang paling ringan, hingga yang berat bisa berupa teguran
peringatan, masuk daftar orang tercela, pemecatan, hukum cambuk, membayar
denda, kurungan, pengasingan, potong tangan, penyaliban, dan hukum mati.
Dilihat dari
jenis-jenis korupsi yang dilakukan, maka hukumannya bisa dikategorikan ke dalam
tiga kelompok. Pertama, kelompok jarimah hudud. Bentuk korupsi yang termasuk
dalam kelompok ini adalah pencurian dan perampokan. Dalam kasus pencurian,
al-qur’an menentukan hukum potong tangan untuk pencuri yang telah memenuhi
syarat dihukum dengan hukuman tersebut. Sebagian cendekiawan menafsirkan
hukuman potong tangan sebagai hukuman administrative, seperti dicopot dari
jabatannya. Sebagian yang lain memahami hukum potong tangan sebagai hukuman
tertinggi yang bisa dijatuhkan kepada pelaku pencurian . Dengan kata lain,
hukuman yang bisa dijatuhkan kepada pencuri bisa lebih rendah dari hukuman
potong tangan tersebut. Semisal penjara atau diasingkan. Sementara itu, dalam
kasus perampokan hukuman yang bisa diberlakukan adalah hukuman mati, salib, hukum
potong tangan berselang seling atau dibuang ( penjara seumur hidup) sesuai
dengan kadar perampokan yang dilakukan. Tentu saja hukuman ini bisa
dimodifikasi dalam konteks budaya lokal Indonesia..
Kedua, korupsi jarimah
ta’zir, dimana jenis hukuman belum ditetapkan sebagaimana dalam kategori
jarimah hudud. Hukuman untuk pelaku jarimah ta’zir ini menjadi wewenang penuh
pemerintah untuk menetapkannya. Beberapa jenis hukuman yang bisa dijatuhkan
adlah hukuman mati, cambuk, penjara, hukuman buang, dicela, dikucilkan, dipecat
dari jabatan, pencabutan hak tertentu seperti hal menjadi pegawai negeri hak
memilih, hak dipilih dan lain-lain. Ketiga, korupsi jarimah mukhalafah, yaitu
hukuman yang diberikan kepada pegawai atau sesorang yang melakukan
kekurangdisiplinan atau pelanggaran terhadap peraturan-peraturan pemerintah
seperti menyimpan rahasia jabatan, menyimpan surat rahasia, larangan menerima
hadiah saat menjabat, dan lain-lain.
Fiqih antikorupsi ini
merupakan upaya para ulama islam untuk memandang dan memberantas korupsi di
Indonesia. Ismail Yusanto (2011) mengemukakan ada empat cara sistem syariah
islam dalam memberantas korupsi : pertama, sistem penggajian yang layak,kedua,
larangan menerima suap dan hadiah, tentang suap, Rasulullah SAW bersabda, “ Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima
suap” (HR.Abu dawud). Ketiga, penghitungan kekayaan, dan keempat, hukuman
setimpal.
Berdasarkan pemaparan
diatas maka peran fiqih antikorupsi sangat relevan dengan hal tersebut di
lingkungan Indonesia. Walaupun sesungguhnya dalam UU Antikorupsi juga ada
sanksi seperti pada fiqih antikorupsi ini. Akan tetapi yang menjadi nilai plus
dalam fiqih antikorupsi adalah ketika akan diterapkan ada nilai takwa. Sistem
islam menanamkan iman kepada seluruh warga Negara, terutama para pejabat
Negara. Dengan iman, setiap pegawai merasa wajib untuk taat kepada aturan allah
swt. Masing- masing sadar akan konsekuensi dari ketaatan atau pelanggaran yang
dilakukannya, karena tidak ada satu pun perbuatan didunia yang lepas dari hisab
( perhitungan) Allah SWT.
Dengan iman akan
tercipta mekanisme pengendalian diri yang handal. Dengan iman pula, para
birokrat, juga semua rakyat akan berusaha mencari rezki secara halal dan
memanfaatkannya hanya di jalan yang di ridhai Allah. Telah jelas dalam firman Allah
SWT dalam Q.S Al-baqarah : 208: “ Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
ke dalam islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. “
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian
diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Penyebab maraknya praktek korupsi di Indonesia diantaranya: lemahya iman
dan penghayatan para pejabat Negara terhadap ajaran-ajaran agama, serta ketidak
mengertian mereka tentang hukum korupsi. Selain itu , korupsi telah begitu
berurat berakar, sementara sistem pengendalian begitu lemah. Akibatnya korupsi
akan mendidik masyarakat untuk bermoral munafik dan akan menghancurkan
masyarakat sehingga berdampak pada kemajuan suatu Negara.
- Lemahnya sistem sanksi terhadap koruptor dipengaruhi oleh praktek korupsi
banyak dilakukan oleh para politisi, juga para pejabat Negara untuk mendapatkan
dana guna membiayai proses-proses politik mereka dalam meraih jabatan politik.
B. Saran
Adapun saran-saran yang
dapat penulis sampaikan adalah:
- Al-quran seharusnya dijadikan salah satu landasan dan pedoman pemerintah
Indonesia dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia.
- Diterapkan sanksi yang lebih berat lagi bagi koruptor serta diperkuat
sistem pengawasan khususnya di pusaran kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Baidowi, Ahmad. 2009. Pemberantasan
Korupsi Dalam Perspektif Islam: UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Fuad, Abu. 2003. 36 Soal Jawab
Tentang Ekonomi, Politik, dan Dakwah Islam: Pustaka Thariqul Izzah.
Jakarta.
Marpaung, Leden. 1992. Tindak Pidana
Korupsi Masalah dan Pemecahannya bagian kedua: Sinar Grafika. Jakarta.
Pope, Jeremy. 2008. Strategi
Memberantas Korupsi Edisi Ringkas: Transparancy International Indonesia.
Jakarta.
Rafi’, Abdur. 2006. Terapi Penyakit
Korupsi: Penerbit
Republika. Jakarta.